Umat Islam Mempelajari Filsafat?
Oleh: Drs. Muhammad Azhar, MA.
Dunia filsafat telah lama hilang dari kaum Muslimin, kecuali di kalangan Syi’ah. Kini, umat Islam perlu menghidupkan kembali tradisi filsafat. Persoalan-persoalan duni terlampau sederhana jika hanya dihadapi secara praktis minus pikiran besar. Adakah kaum Muslimin siap dan dari mana mulai belajar filsafat?
Dunia filsafat telah lama hilang dari kaum Muslimin, kecuali di kalangan Syi’ah. Kini, umat Islam perlu menghidupkan kembali tradisi filsafat. Persoalan-persoalan duni terlampau sederhana jika hanya dihadapi secara praktis minus pikiran besar. Adakah kaum Muslimin siap dan dari mana mulai belajar filsafat?
Mempelajari filsafat itu dikatakan gampang-gampang susah. Umumnya orang berpendapat bahwa untuk mempelajari filsafat memerlukan pikiran yang serius, serba njlimet serta berbagai gambaran kerumitan lainnya. Sebenarnya, untuk mempelajari filsafat itu bisa ditempuh dengan cara yang lebih rileks dan mudah. Bagi para pemula, buku Dunia Sophie menarik untuk dibaca. Buku tersebut merupakan buku filsafat, namun penyajiannya seperti kita membaca buku novel. Untuk buku yang lebih serius lagi, namun masih mudah untuk dicerna, adalah buku yang ditulis oleh Titus, Nolan dan Smith, Living Issues on Philosophy. Buku ini telah diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia oleh Prof. Dr. HM. Rasyidi (mantan mentri Agama RI yang pertama), menjadi: Persoalan-Persoalan Dalam Filsafat. Buku ini sudah suli dicari dalam toko buku, kecuali dalam bentuk kopian.
Bagi pemeluk agama Islam, kadang ada keraguan untuk mempelajari filsafat, seolah-olah, kalau sudah mempelajari filsafat, maka aspek keimanan akan semakin berkurang. Bahkan konon ada mahasiswa IAIN yang setelah belajar filsafat malah tidak mau lagi shalat. Padahl banyak mahasiswa yang tidak shalat bukan karena mendalami filsafat. Kalaupun ada fenomena seperti mahasiswa IAIN tadi, frekwensinya relatif kecil. Ibarat belajar renang, mendalami filsafat butuh pembiasaan dan waktu yang relatif lama. Bila sudah mahir maka tidak ada lagi persoalan.
Secara akademis, berfilsafat berarti mencoba berfikir secara lebih radikal (mendalam) dalam memahami sesuatu. Dalam tradisi filsafat Barat, masalah ketuhanan pun perlu dikaji secara filosofis. Dalam Islam Mungkin tidak sejauh memahami tentang zat Tuhan, tetapi sekadar eksistensi Tuhan di alam ini. Seperti sabda Nami, tafakaru fi khalqillah wal tafakaru fil khaliq (pikirkanlah semua ciptaan Allah, dan jagan memikirkan tentang zat Allah). Namun tentang keberadaan Allah dikatikan dengan keberadaan alam ini, boleh-boleh saja kita pikirkan, dan memang sebuah keharusan. Imam al-Ghazali memang cenderung menempuh jalah tasawuf dalam memahami Tuhan. Filsafat, kata al- Ghazali, tidak dapat “menemukan” Tuhan. Mirip dengan al-Ghazali Imanuel Kant juga menunjukkan kelemahan jalan rasional dalam memahami hakekat jiwa dan Tuhan.
Selain radikal, mendalami filsafat juga bersifat universal (lintas batas, serba melampaui) dan sistematis. Dan yang menjadi fokus dalam studi filsafat, secara klasik, mengkaji tentang Tuhan, alam, dan manusia. Dalam perkembangan filsafat kontemporer, juga mendalami soal-soal sosial-budaya, bahasa (philosophy of language), ekonomi, politik (political philosophy), hukum, dan lain-lain. Secara metodologis, filsafat mengkaji tentang ontologi ( hakekat sesuatu), epistemologi (cara-cara yang digunakan dalam mengkaji hakekat sesuatu), dan aksiologi (masalah filsafat nilai, tentang baik buruk, atau meliputi wilayah etika).
Untuk mempelajari filsafat memang bisa dengan beberapa cara. Pertama, yakni mempelajari sejarah perkembangan filsafat, sejak era klasik, modern hingga kontemporer. Yang menjadi fokus di sini adalah sejarah perkembangan ide-ide atau aliran filsafat. Kedua, dengan mempelajari tokoh atau pemikir yang telah banyak memberikan banyak kontribusinya dalam pengembangan pemikiran dalam dunia filsafat. Ketiga, bisa juga mempelajari filsafat secara topikal atau tematis. Topik-topik yang hangat dalam kajian filsafat. Keempat, bisa juga mempelajarai filsafat yang terkait dengan bidang-bidang keilmuan; seperti filsafat agama, filsafat politik, filsafat ekonomi, filsafat sejarah, filsafat sosial, dan lain sebagainya. Kajian keempat ini bisa bersifat pemikiran (aliran), studi tokoh, maupun topikal-tematis. Kelima, studi filsafat bisa juga dengan mengunakan pendekatan komparasi yakni mengkaji kelebihan dan kekurangan yang ada dalam masing-masing aliran filsafat. Misalnya, bagaimana pandangan aliran rasionalisme dan empirisme tentang jiwa, manusia, dan lain-lain. Bisa juga perbandingan antar filsuf tentang tema yang sama.
Mengingat pentingnya kajian filsafat ini, sudah selayaknya umat Islam kembali menghidupkan tradisi berfikir filosofis yang selama ini telah hilang dari khazanah pemikiran umat Islam. Sebenarnya, tradisi filsafat sampai hari ini masih terus berlanjut di kalangan dunia Syi’ah, namun dunia Sunni telah lam mengabaikan bahkan “mengharamkan” filsafat. Boleh jadi karena pengaruh kitab al-Ghazali Tahafut al-Falasifah. Sehingga sementara orang berpendapat bahwa al-Ghazali sangat anti filsafat. Sebenarnya, al-Ghazali tidak anti sepenuhnya pada filsafat, karena al-Ghazali sendiri sudah sangat kenyang dalam mendalami filsafat.
Andaikata ia anti filsafat, maka judul bukunya di atas menjadi Tahafut al-falsafah. Kata-kata al-falsafah sendiri berbeda dengan al-falasifah. Al-Falsafah adalah ilmu filsafat itu sendiri, sedang Al-Falasifah (para filosof). Dalam bukunya dimaksud, al-Ghazali hanya menoloak tiga perkara dari 20 perkara yang dikemukakan oleh Ibnu Rusd, cs. Ketiga topik yang ditolak al-Ghazali adalah tentang: keabadian alam, Tuhan tidak mengetahui hal-hal yang kecil (juziyyah), tidak ada kebangkitan jasmani pada hari kiamat kelak. Sedangkan 17 masalah lainnya, al-Ghazali dapat menerima. Bagi al-Ghazali, bila ketiga tema di atas tersebut dibenarkan, berarti sangat bertentangan dengan konsep keabadian dan keesaan Allah. Sayangnya umat Islam menggeneralisir penolakan al-Ghazali di atas. Yang menarik, adalah ada kiai yang anti filsafat, padahal di pesantrenya ia sudah belajar ‘ilm al-mantiq (ilmu logika) sebagai ilmu dasar dari filsafat. Karena dunia Sunni menabukan filsafat, maka umat Islam Sunni menjadi lemah dalam berfikir analisis. Menjadi umat yang serba tekstual dan normatif.
Di dunia Bara, tradisi filsafat juga tetap hidup, maka tradisi kritis terhadap pemikiran terdahulu sudah menjadi hal bisa di Barat. Sebagai contoh, kalu dulu duni barat mengunakan paham Modernisme yang serba rasional dan positif. Kini dunia Barat sudah mulai merambah ke arah baru yaitu posmodernisme yang meangakui adanya wilayah spiritualisme, pluralisme, dan dekonstruksi. Sebaliknya dunia Islam cenderung memberhalakan pemikiran-pemikiran masa lampau yang oleh Muhammed Arkoun disebut dengan takdis al-fakr (pengsakralan pemikiran).
Orang yang mengakui filsafat kan lebih enak menikmati cara berfikir bebas, mandiri, dan kritis dalam memikirkan fenomena yang ada (tidak menjadi manusia yang serba nrimo). Berfilsafat tidak sekedar melihat gejala yang tampak (fisika) saja, namun menukik secara lebih dalam kepada hal-hal yang ada di bali yang ada (metafisika). Berfilsafat seperti burung rajawali yang terbang di ketinggian sehingga lebih mudah dan jeli melihat keadaan. Memang terkadang orang yang berfilsafat cenderung dianggap orang yang aneh oleh orang di sekelilingnya yang hanya berfikir biasa-biasa saja.
Para filosofis cenderung menjaga jarak dengan semua benda dan keadaan, sehingga lebih cermat mensyiasati keadaan. Resikonya, di menjadi seperti orang yang terasing, karena harus berbeda dan mengambil jarak dari semua yang ada, bahkan mengambil jarak dengan pemikirannya sendiri.
Dalam studi filsafat Islam, paling tidak dikenal tiga aliran; yakni aliran rasional (peripatetik, masyaiyyah); aliran empiris (tajribiyyah); dan aliran intuitif (isyrakiyyah, laduniyyah). Di Barat umumnya hanya dua aliran, empiris dan rasional. Namun para era posmodernisme saat ini, dunia Barat mulai meranbah wilayah intuitif.
Akhirnya, perlu dimaklumi bahwa berfilsafat bukanlah segala-galanya. Karena filsafat ada batasnya, dimana rasio sebagai alat filsafat memang amat terbatas. Filsafat bukanlah satu-satunya jalan kebenaran, di hanya salah satu cara untu mencari kebenaran, di samping ada jalan lain yakni jalan empiris dan intuitif. Berfilsafat berarti lebih mendayagunakan otak kiri (berfikir liner, rasional, sistematik), maka perlu diimbangi dengan upaya fungsionalisasi otak kanan (berfikir sirkular, imajinatif, intuitif).
Berfikir dan beribadah (menjalankan anjuran-anjuran agama) menikmati seni, karya seni dan sebagainya akan lebih dapat menyeimbangkan kehidupan manusi dalam menjalankan aktivitas kesehariannya di dunia ini.
*Disalin dari majalah Suara Muhammadiyah No: 09 Th: ke-88, 1-15 Mei 2003 M