Menyoal Komersialisasi Pendidikan
Memasuki tahun 2008 adalah saat istimewa seiring rangkaian sejarah bangsa Indonesia. Setidaknya pada bulan Mei tahun ini kita telah memeringati dua momen besar yaitu 111 tahun Hari Pendidikan Nasional (2 Mei 1889 – 2 Mei 2008) dan 100 tahun kebangkitan Nasional (20 Mei 1908 – 20 Mei 2008). Keduanya merupakan tonggak utama penyokong berdirinya Negara – bangsa Indonesia (Nation state of Indonesia). Pendidikan memerdekakan nalar pikir anak bangsa, sementara kebangkitan nasional memerdekakan jiwa raga dari belenggu penjajahan.
Perayaan tentu tak etis hanya berakhir dengan perayaan itu sendiri yang seringkali menyisakan romantisme semu serta pesta pora tanpa kesadaran. Masuk bulan ketiga tahun ini penulis berkesempatan mengunjungi kota Batam. Ketika berkesempatan berkeliling kota, urat geli penulis sempat tergelitik oleh papan iklan sebuah sekolah. Papan iklan itu terang – terangan menuliskan bahwa ada diskon 0% untuk masuk sekolah “A” pada periode tertentu, lewat dari tanggal tersebut berarti tidak ada diskon. Sang model dalam billboard besar itu menurut hemat penulis lebih mirip seorang bankir, pengusaha atau bisnisman dari pada pembawaan seorang pendidik. Dengan stelan jas necis serta senyuman ala salesman, penulis jadi berpikir iklan ini sedang menawarkan pendidikan atau jasa pendidikan?
Jika Ki Hajar Dewantara masih hidup atau guru Umar Bakri itu sungguh nyata adanya, tentu mereka tidak akan tinggal diam menghadapi fenomena bisnis pendidikan ini. Setidaknya bukan keadaan ini yang beliau kehendaki. Khusus Ki Hajar Dewantara –pendidik dan pejuang bangsa – seorang yang menyadari pentingnya investasi sumber daya manusia melalui pendidikan. Indonesia sebagai negara yang mencantumkan cita – cita “mencerdaskan kehidupan bangsa” dalam pembukaan undang – undang dasar, sudah selayaknya menjadikan pendidikan sebagai prioritas dalam membangun bangsa.
Selama hampir 63 tahun merdeka, bangsa kita justru seolah kehilangan jati diri. Sekolah – sekolah merasa hebat jika bertarif mahal dan berstandar internasional bahkan guru pun harus impor dari negri sebrang. Bahasa Indonesia tidak lagi menjadi bahasa pengantar dan pemersatu di sekolah. Jika begini keadaannya lalu dimana tempat untuk Indonesia: tanah air, bangsa dan bahasa seperti yang dikumandangkan para pemuda pada tahun 1928? Apakah cukup kata Indonesia dalam peta dunia, sedangkan Nusantara tak lagi dipenuhi “jiwa” Indonesia?
Sekolah seperti yang ditulis Louis Althusser merupakan salah satu Idiological State Apparatus dimana negara bisa “memaksakan” idiologi, nilai atau kehendaknya melalui institusi ini. Dalam arti positif, ia bisa menjadi media ampuh menamkan rasa nasionalisme, cinta tanah air dan penghayatan pada sejarah bangsa. Namun apa daya, pendidikan kita telah menjadi ajang mencari untung. Penyelenggara pendidikan mencari untung dari biaya pendidikan yang dibayarkan siswa, siswa juga mengadu untung dengan ijazah yang diperolehnya. Pendidikan kemudian berbelok tujuan dari upaya mencerdaskan kehidupan bangsa menjadi upaya berburu legalisasi proses belajar.
Padahal apakah benar sertifikat yang dikeluarkan lembaga pendidikan berbanding lurus dengan kualitas apalagi kapabilitas intelektual peserta didik, apalagi jika kelulusan masih ditentukan dengan uji penyeragaman seperti yang berlangsung hingga saat ini? Anak SMP juga tahu UAN tidak memenuhi rasa keadilan dan kemanusiaan. Tapi sudahkah para pengambil kebijakan yang mengemban amanat rakyat memahami hal ini? Lagi – lagi adik – adik kita yang ada di SLTP dan SLTA yang tahu jawabannya.
Keringat dan darah para pejuang pendidikan tak selayaknya dibayar dengan “melacurkan” pendidikan dengan hitungan materi semata. Dalam iklim binis “jasa pendidikan” seperti sekarang ini, wajar saja jika selama kurun 86 tahun sejak Ki Hajar Dewantara merintis Taman Siswa pendidikan kita tidak lagi melahirkan banyak pemikir besar sekelas Ki HD sendiri atau rekan - rekan sezamannya seperti Sukarno, Hatta, Syahrir, dan Tan Malaka yang juga penggagas pendidikan untuk rakyat.
Indonesia bukanlah negara bangsa semata, tapi juga sebuah cita – cita bagaimana umat manusia hidup bermartabat selaras dengan harkat kemanusiaannya di bumi Nusantara. Jauh hari founding fathers kita sudah mengingatkan bahwa kemerdekaan hanyalah jembatan emas menuju Indonesia yang adil makmur sejahtera. Karenanya dalam mengisi kemerdekaan, suara dan keinginan rakyat adalah sabda yang harus didahulukan penyelenggaraannya, bukan malah memperjualbelikan sesuatu yang memang hak rakyat; dalam hal ini pendidikan atau hak untuk menjadi cerdas dan bermartabat.
oleh Siti Azmi Faiqoh
Aktivis Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII UNIJA)
Penggiat Pendidikan Alternatif Luar Sekolah
Alamat: Jl. Pemuda 1 Rt.007/02 No. 1 Rawamangun Jakarta Timur
Mobile:08165405963
Perayaan tentu tak etis hanya berakhir dengan perayaan itu sendiri yang seringkali menyisakan romantisme semu serta pesta pora tanpa kesadaran. Masuk bulan ketiga tahun ini penulis berkesempatan mengunjungi kota Batam. Ketika berkesempatan berkeliling kota, urat geli penulis sempat tergelitik oleh papan iklan sebuah sekolah. Papan iklan itu terang – terangan menuliskan bahwa ada diskon 0% untuk masuk sekolah “A” pada periode tertentu, lewat dari tanggal tersebut berarti tidak ada diskon. Sang model dalam billboard besar itu menurut hemat penulis lebih mirip seorang bankir, pengusaha atau bisnisman dari pada pembawaan seorang pendidik. Dengan stelan jas necis serta senyuman ala salesman, penulis jadi berpikir iklan ini sedang menawarkan pendidikan atau jasa pendidikan?
Jika Ki Hajar Dewantara masih hidup atau guru Umar Bakri itu sungguh nyata adanya, tentu mereka tidak akan tinggal diam menghadapi fenomena bisnis pendidikan ini. Setidaknya bukan keadaan ini yang beliau kehendaki. Khusus Ki Hajar Dewantara –pendidik dan pejuang bangsa – seorang yang menyadari pentingnya investasi sumber daya manusia melalui pendidikan. Indonesia sebagai negara yang mencantumkan cita – cita “mencerdaskan kehidupan bangsa” dalam pembukaan undang – undang dasar, sudah selayaknya menjadikan pendidikan sebagai prioritas dalam membangun bangsa.
Selama hampir 63 tahun merdeka, bangsa kita justru seolah kehilangan jati diri. Sekolah – sekolah merasa hebat jika bertarif mahal dan berstandar internasional bahkan guru pun harus impor dari negri sebrang. Bahasa Indonesia tidak lagi menjadi bahasa pengantar dan pemersatu di sekolah. Jika begini keadaannya lalu dimana tempat untuk Indonesia: tanah air, bangsa dan bahasa seperti yang dikumandangkan para pemuda pada tahun 1928? Apakah cukup kata Indonesia dalam peta dunia, sedangkan Nusantara tak lagi dipenuhi “jiwa” Indonesia?
Sekolah seperti yang ditulis Louis Althusser merupakan salah satu Idiological State Apparatus dimana negara bisa “memaksakan” idiologi, nilai atau kehendaknya melalui institusi ini. Dalam arti positif, ia bisa menjadi media ampuh menamkan rasa nasionalisme, cinta tanah air dan penghayatan pada sejarah bangsa. Namun apa daya, pendidikan kita telah menjadi ajang mencari untung. Penyelenggara pendidikan mencari untung dari biaya pendidikan yang dibayarkan siswa, siswa juga mengadu untung dengan ijazah yang diperolehnya. Pendidikan kemudian berbelok tujuan dari upaya mencerdaskan kehidupan bangsa menjadi upaya berburu legalisasi proses belajar.
Padahal apakah benar sertifikat yang dikeluarkan lembaga pendidikan berbanding lurus dengan kualitas apalagi kapabilitas intelektual peserta didik, apalagi jika kelulusan masih ditentukan dengan uji penyeragaman seperti yang berlangsung hingga saat ini? Anak SMP juga tahu UAN tidak memenuhi rasa keadilan dan kemanusiaan. Tapi sudahkah para pengambil kebijakan yang mengemban amanat rakyat memahami hal ini? Lagi – lagi adik – adik kita yang ada di SLTP dan SLTA yang tahu jawabannya.
Keringat dan darah para pejuang pendidikan tak selayaknya dibayar dengan “melacurkan” pendidikan dengan hitungan materi semata. Dalam iklim binis “jasa pendidikan” seperti sekarang ini, wajar saja jika selama kurun 86 tahun sejak Ki Hajar Dewantara merintis Taman Siswa pendidikan kita tidak lagi melahirkan banyak pemikir besar sekelas Ki HD sendiri atau rekan - rekan sezamannya seperti Sukarno, Hatta, Syahrir, dan Tan Malaka yang juga penggagas pendidikan untuk rakyat.
Indonesia bukanlah negara bangsa semata, tapi juga sebuah cita – cita bagaimana umat manusia hidup bermartabat selaras dengan harkat kemanusiaannya di bumi Nusantara. Jauh hari founding fathers kita sudah mengingatkan bahwa kemerdekaan hanyalah jembatan emas menuju Indonesia yang adil makmur sejahtera. Karenanya dalam mengisi kemerdekaan, suara dan keinginan rakyat adalah sabda yang harus didahulukan penyelenggaraannya, bukan malah memperjualbelikan sesuatu yang memang hak rakyat; dalam hal ini pendidikan atau hak untuk menjadi cerdas dan bermartabat.
oleh Siti Azmi Faiqoh
Aktivis Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII UNIJA)
Penggiat Pendidikan Alternatif Luar Sekolah
Alamat: Jl. Pemuda 1 Rt.007/02 No. 1 Rawamangun Jakarta Timur
Mobile:08165405963